Ingin investasi yang menguntungkan, aman, minim risiko, tahan krisis, dan kebal inflasi? Benar, emaslah jawabannya. Dari seabrek instrumen dan produk investasi yang ada di mayapada ini, kedigdayaan emas belum tertandingi. Emas bahkan lebih ciamik ketimbang deposito, saham, obligasi, dan instrumen-instrumen investasi modern lainnya.Hasil kajian sebuah lembaga survei investasi yang dirilis pada 2003, misalnya, memperkirakan harga emas pada 2013-2015 tembus US$ 8.000 per troy ounce (toz).
Berarti, dengan ancar-ancar harga emas sekarang US$ 800 per toz (satu toz setara 31,1 gram), seseorang yang menyimpan emas 1 toz bisa mereguk keuntungan hingga 900% pada 2013-1015. Bayangkan, 900% hanya dalam tempo lima tahun!
Emas memang punya nilai intrinsik yang cenderung tetap, bahkan bisa meningkat mengikuti perkembangan waktu. Sejarah membuktikan, logam mulia itu tidak memiliki efek inflasi (zero inflation effect) dan tak tergerus dolar AS atau mata uang kuat lainnya, sehingga harganya lebih stabil dan memiliki nilai riil.
Itu sebabnya, emas lebih tahan guncangan dan gejolak ekonomi. Alhasil, negara-negara pengguna mata uang berbasis emas seperti Dirham dan Dinar di Timur Tengah, memiliki perekonomian yang lebih stabil.
Statistik menunjukkan, jika inflasi melonjak, harga emas naik lebih tinggi dari angka inflasi. Semakin tinggi inflasi, kian tinggi pula kenaikan harga emas. Bila inflasi mencapai 10%, harga emas naik 13%. Bila inflasi 20%, harga emas naik 30%. Dan, jika inflasi mencapai 100%, harga emas naik 200%.
Cuma, memang, di balik keunggulan-keunggulannya, emas juga memiliki sejumlah kelemahan, seperti relatif kurang praktis (sulit disimpan), serta berisiko hilang, dicuri, atau dirampok. Jika proses penyimpanannya kurang terjaga, emas juga bisa mengalami oksidasi dan perubahan warna. Sedangkan emas berbentuk koin bila terjatuh sulit di-treatment ulang, sehingga harganya bisa berkurang. Kekurangan lainnya, dalam kondisi normal dan jangka pendek, return emas relatif stabil dan tidak seatraktif saham atau properti. Dengan kata lain, dalam kondisi biqsa, emas kurang cocok bagi investor yang memiliki adrenalin tinggi dan suka tantangan. Emas juga kurang cocok untuk investasi jangka pendek karena karakteristiknya sebagai lindung nilai (hedging).
Toh, secara umum, emas yang konon sudah dikenal sejak 40 ribu tahun sebelum Masehi tetap saja menggiurkan sebagai produk investasi. Apalagi, kini, emas mengalami diversifikasi lebih luas, sehingga investor tidak semata harus menyimpan logam berharga itu dalam bentuk fisik (batangan, perhiasan, koin), melainkan bisa dalam bentuk lain, seperti tabungan jangka panjang, valas, atau kontrak gulir emas.
Dalam dekade 1930-an yang dikenal sebagai masa kelam ekonomi dunia. Great American Despression. Coba lihat film “Cinderella Man”, film layar lebar yang menceritakan seorang juara dunia tinju berat ringan yang untuk makan saja terpaksa harus mengantri. Sungguh kondisi ekonomi yang parah.
Kondisi ini masih diperparah dengan adanya perang dunia I sehingga banyak orang rela untuk berperang daripada bekerja. Toh tidak ada lapangan kerja yang tersedia.
Untuk mengatasi kekelaman ekonomi dikala itu, maka dibuat dan ditandatanganilah perjanjian Bretton Woods sesuai nama hotel tempat perjanjian tersebut ditanda-tangani.
Salah satu isi dari perjanjian tersebut ialah membatasi percetakan atau pembuatan mata uang, bila tanpa disertai cadangan emas yang cukup bagi negara yang bersangkutan.
Walaupun pada akhirnya perjanjian ini dibatalkan oleh Amerika di tahun 1971, namun satu kesimpulan yang diperoleh adalah “The Mother of all money is GOLD”. ( Induk dari semua mata uang adalah emas ). Hal ini lah yang menjadikan pentingnya emas dalam dunia perekonomian modern, pasca Great American Despression.
Krisis Global
Pertanyaan besarnya, bagaimana berinvestasi emas di tengah gejolak perekonomian global saat ini? Tentu saja emas masih menjanjikan. Dalam hitungan paling rasional, cadangan emas di muka bumi sangat terbatas, padahal jumlah manusia terus bertambah.
Cadangan emas di bank-bank sentral di dunia, misalnya, dikabarkan terus menurun. Bila mengikuti teori penawaran dan permintaan, berarti harga emas bakal naik terus.
Hanya saja, dalam kondisi sekarang, menerka harga emas memang gampang-gampang susah. Terlepas dari itu, “Emas harus ada dalam profil portofolio kita, baik sebagai hedging maupun untuk menjaga likuiditas. Idealnya, persentase emas mencapai 10-20% dari total portofolio investasi kita,” papar pengamat pasar modal Felix Sindhunata.
Fluktuasi harga emas memang ditentukan banyak faktor, dari faktor musiman, penawaran dan permintaan, sampai faktor persepsi. Kini, emas juga memiliki korelasi yang sangat kuat dengan dolar AS. “Kalau Presiden Obama punya gebrakan bagus yang bisa membenahi perekonomian AS, harga emas bisa turun, karena investor akan kembali ke Wall Street untuk memborong saham. Investor juga akan beralih kembali ke dolar AS yang terapresiasi,” ujar pengamat emas yang juga Country Manager World Gold Council (WGC) Indonesia Leo Hadi Loe.
Bagaimana jika gebrakan Obama tak membuahkan hasil? Jika Obama gagal, duit dolar yang dicetak untuk membiayai pemulihan ekonomi, bakal mubadzir. Ujung-ujungnya, dolar yang beredar akan berlebih, sehingga memicu inflasi dan stagnasi ekonomi. Pada akhirnya, dolar AS juga runtuh. Nah, kalau itu terjadi, “Harga emas tahun depan bisa tembus US$ 900 per toz,” ucap Leo Hadi Loe.
Yang pasti, di tengah gonjang-ganjing ekonomi global, kecenderungan masyarakat untuk menyimpan emas ternyata meningkat. Berdasarkan hasil survei perusahaan jasa keuangan global, ING, investor di Indonesia yang ingin berinvestasi emas pada triwulan IV-2008 mencapai 29%. “Emas menempati peringkat kedua setelah properti (36%), dan lebih tinggi dibanding dana pensiun (10%),” kata Presiden Direktur PT ING Securities Indonesia Robert Scholten.
Yang lebih penting, investor di Indonesia kini juga bisa berinvestasi emas dengan menggunakan dolar AS di PT Bursa Berjangka Jakarta (BBJ). Pada 10 Desember lalu, BBJ resmi membuka perdagangan kontrak gulir emas dalam denominasi mata uang dolar AS (KGEUSD) dengan referensi harga emas pasar fisik di London (Loco London).
“Margin awal perdagangan ditetapkan sekitar US$ 2.500 per lot. Nasabah bisa menyetor 5% dari nilai investasi awal,” tutur Direktur Utama BBJ Hasan Zein Mahmud.
Bretton Woods System
Mau tidak mau, krisis ekonomi global memang memaksa para investor yang selama ini berinvestasi pada produk-produk portofolio derivatif, melirik emas. Muhaimin Iqbal, penulis buku Dinas Solution, dalam situs dinarworld.com membeberkan hasil kajiannya mengenai korelasi emas, rupiah, dan dolar AS selama rentang waktu 40 tahun terakhir (1968-2008).
Pada 1968, saat nilai tukar rupiah mencapai Rp 296 per dolar AS, harga emas berada pada level Rp 369 per gram. Sepuluh tahun kemudian (1978), rupiah terdepresiasi menjadi Rp 442 per dolar AS, dan harga emas menjadi Rp 2,746 per gram. Berarti, selama 10 tahun, dolar AS mengalami kenaikan 49% terhadap rupiah, sedangkan harga emas naik 645%.
Masih menurut Muhaimin Iqbal, kenaikan dolar AS terhadap rupiah yang lebih baik dibanding kenaikan harga emas hanya sekali terjadi, yakni pada 1988-1998, itu pun semata-mata karena anomali satu tahun (krisis 1998). Bahkan dolar AS yang saat ini berada pada kisaran Rp 11.000 hanya naik 3,663% dibandingkan 40 tahun silam.
Bandingkan dengan harga emas yang kini Rp 266,477 per gram (naik 72,202%).
Boleh jadi, karena itulah, pada tataran ekonomi dunia kini muncul wacana diberlakukannya kembali Bretton Woods System. Sekadar menyegarkan ingatan, dalam sistem moneter dikenal tiga macam sistem nilai tukar, yaitu fixed exchange rate system (kurs tetap), floating exchange rate system (kurs mengambang), dan pegged exchange rate system (pematokan atau pengaitan terhadap mata uang lain).
Masa fixed exchange rate system ditandai dengan diberlakukannya Bretton Woods System pada 1 Maret 1947. Sistem ini menuntut nilai suatu mata uang dikaitkan (convertible) terhadap emas (gold exchange standard). Sistem tersebut kandas setelah The Fed mencetak dolar melebihi kapasitas emas yang dimilikinya, sampai akhirnya nilai tukar dolar AS jebol.
Menyusul luruhnya kepercayaan masyarakat internasional terhadap dolar AS, Pemerintah AS akhirnya membatalkan Bretton Woods System melalui Dekrit Presiden Nixon pada 15 Agustus 1971. Mungkinkah Bretton Woods System diberlakukan lagi?
EMAS VS PERANG
Ada satu kelakuan emas yang hampir selalu terjadi. Setiap ada ketidak pastian di bidang ekonomi, maka harga emas akan selalu meroket. Fakta sebaliknya, setiap ada kepastian (baca: kondisi perekonomian yang terus meningkat) maka harga emas akan menurun.
Dengan demikian, setiap kali terjadi perang atau ancaman perang, maka harga emas akan meroket. Bicara perang disini bukan hanya tentang senjata dan peluru tetapi juga ketidak pastian di bidang ekonomi. Bila kita runut maka menjelang perang teluk di bulan Agustus 1990 dapat disaksikan harga emas mencapai titik tertinggi di level 415US$/Troy Ounce. Ditahun 2008, ketika mulai terjadi perang terhadap krisis Subprime Mortgage, maka emas juga mulai meroket dan tembus hingga level 1000US$/Troy Ounce ke atas. Kondisi ketidak pastian ini terus berlanjut sampai sekarang.
EMAS VS KAMBING
Secara intelektual sudah dibahas tentang emas. Mari simak analisa berikut. Ada satu indikator yang cukup luar biasa tentang emas yaitu cukup bandingkan emas dengan harga kambing.
Semenjak di jaman Nabi Muhammad, harga 1 ekor kambing setara dengan 3 gram emas. Bila emas saat ini berada di 1150US$/TO dan 1US$ = Rp.9450,- maka 1 gram emas setara dengan Rp.350.000,-. Dan berdasarkan info terakhir sesudah hari raya kurban harga kambing saat ini sekitar Rp.800.000,-. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk memperoleh 1 ekor kambing dibutuhkan cuma 2 gram lebih emas. Inipun artinya harga emas masih terlalu tinggi bila dibandingkan harga kambing.
Menabung dalam bentuk dana tunai atau uang adalah hal yang biasa. Kini bank berlomba untuk menerbitkan tabungan dalam bentuk investasi emas. Dan penabung pun nantinya bisa mendapatkan emas 24 karat dari hasil tabungan emas nya.
Pada awalnya tabungan emas ini dipelolori oleh Bank HSBC Syariah, namun sekarang Bank Syariah Mandiri (BSM) pun tak mau ketinggalan dengan menerbitkan tabungan investasi emas yang menggunakan portofolio emas 24 karat.
Dalam Tabungan emas Bank Syariah Mandiri (BSM), setiap nasabah nantinya akan diberikan sertifikat kepemilikan emas. Bentuk fisik emas akan disimpan di BSM atau di vendor yang telah ditentukan, satuan kepemilikan emas minimum sebesar 10 gram dan kelipatannya. Nasabah yang ingin memiliki tabungan investasi emas bisa langsung mendatangi BSM dan membuka rekening. Setoran dari nasabah yang berupa dana tunai akan dikonversi menjadi harga emas, sehingga bisa terlihat berapa gram emas yang ditabung. Untuk patokan harga kita aka mengacu ke LME (London Metal Exchange).
Minat investasi dalam bentuk emas ini cukup tinggi karena harga emas dari tahun ke tahun terus naik yang bisa mencapai 20-30 persen per tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar