Senin, 21 Februari 2011

Hak Anak atas Permukiman yang Layak




Hak Anak atas Permukiman yang Layak:
Analisis Kritis Terhadap RUU Perumahan dan Permukiman

A. Pendahuluan

Permasalahan hak anak atas permukiman yang layak tidak terlepas dari situasi kemiskinan di Indonesia karena keluarga menurut Mukadimah Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan lingkungan yang alami bagi pertumbuhan dan kesejahteraan. Selanjutnya Mukadimah KHA menegaskan bahwa demi perkembangan kepribadiannya secara penuh dan serasi, anak harus dibesarkan dalam suatu lingkungan keluarga, dalam suatu suasana yang bahagia, penuh kasih sayang dan pengertian. Untuk mewujudkan pertumbuhan dan kesejahteraan anak-anak dibutuhkan prasyarat khusus agar hak atas hidup, kelangsungan hidup, dan tumbuh kembang dapat dinikmati. Permukiman yang layak bagi keluarga yang menaungi hidup dan kehidupan anak menjadi prasyarat khusus yang mendasar bagi realisasi penuh hak-hak anak. Bahkan hak istirahat, hak bersenang-senang untuk menikmati waktu luang, dan hak bermain yang merupakan karakteristik yang paling khas dari hak anak mensyaratkan permukiman yang layak.

Namun permukiman yang layak yang menjadi hak dasar bagi anak masih merupakan impian bagi sebagian besar anak-anak khususnya bagi anak-anak yang orang tuanya hidup dalam kemiskinan. Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia), menurut Data BPS, pada Bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Bulan Maret 2008 yang berjumlah 34,96 juta (15,42 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,43 juta. Sementara pada bulan Maret 2007 penduduk miskin berjumlah 37,17 juta orang (16,58 persen). Pada Bulan Maret 2009 jumlah penduduk miskin yang bertempat tingga di perkotaan besar 63,38 persen dan penduduk miskin yang berada di daerah perdesaan sebesar 36,62 persen. Sementara itu, persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan pada bulan Maret 2008, sebesar 63,47 persen dan penduduk miskin yang berada di daerah perdesaan sebesar 36,53 persen. Persentase jumlah penduduk miskin perkotaan yang demikian besar menunjukkan bahwa kemiskinan terkait dengan terjadinya urbanisasi. Konsekuensi logis urbanisasi adalah meningkatnya kebutuhan rumah, namun karenanya tingginya harga rumah di perkotaan, penduduk miskin tidak dapat mengakses rumah yang layak. Pada akhirnya Penduduk miskin di perkotaan terpaksa hidup di wilayah perkotaan dikantung-kantung kemiskinan yang kumuh.

Wilayah permukiman kumuh yang didominasi oleh penduduk miskin, merupakan wilayah tempat hidup yang tidak aman, dan memiliki lingkungan fisik yang buruk. Di Indonesia, data permukiman kumuh diperoleh dari data kepemilikan permukiman. Data menunjukkan bahwa berdasar kepemilikan permukiman tercatat persentase total penghuni permukiman kumuh hanya 15% (2005). Data yang lain menunjukkan bahwa perkampungan kumuh pada 2004 berjumlah 54.000 hektar, kemudian meningkat menjadi 59.000 hektar pada tahun 2009 dengan pertumbuhan 1,37%.

Sampai saat ini penggusuran paksa (forced eviction) yang ditujukan terhadap permukiman warga miskin dan kegiatan ekonomi non formal masih menjadi metode yang dilakukan oleh hampir seluruh pemerintah daerah di Indonesia. Penggusuran tersebut dilakukan karena penduduk miskin tidak memiliki bukti kepemilikan secara hukum sehingga sering disebut penghuni liar. Stigma sebagai penghuni liar dilegalkan melalui peraturan daerah (perda) karena mereka dianggap menganggu dan melanggar ketertiban umum.

Padahal penggusuran permukiman warga miskin agar semakin memperbesar jumlah kekurangan rumah (backlog) yang semakin cenderung meningkat. Menteri Perumahan Rakyat Iskandar Saleh mengungkapkan bahwa jumlah kekurangan rumah terhadap perumahan mengalami peningkatan dari 5,8 juta pada 2004 menjadi 7,4 juta unit pada akhir 2009. Kondisi tersebut diperkirakan akan terus berakumulasi pada masa yang akan datang akibat adanya pertumbuhan rumah tangga baru sebesar 710.000 per tahun. Selain itu, semakin meluas-nya lingkungan permukiman kumuh dan masih terdapat rumah tangga yang menempati rumah tidak layak huni dan tidak didukung oleh prasarana sarana lingkungan dan utilitas umum yang memadai. Situasi ini diperburuk dengan keterbatasan Negara dalam mengemban kewajibannya untuk menyediakan rumah yang layak bagi setiap warga Negara khususnya kelompok masyarakat miskin.

Setiap terjadinya penggusuran, anak dan perempuan merupakan kelompok yang rentan menerima dampaknya. Penggusuran tidak hanya berdampak pada traumatis pada anak karena seringkali dilakukan dengan kekerasan, penggusuran juga akan menganggu kemampuan anak untuk mengakses menikmati pendidikan. Seringkali penggusuran menyebabkan buku, perlengkapan sekolah, seragam sekolah rusak atau hilang. Lebih jauh ikatan sosial dan psikologis anak dengan teman sebaya juga akan rusak. Situasi ini akan menganggu pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal.

Rumah yang tidak layak berpotensi menjadi faktor pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, di mana korbannya didominasi oleh perempuan dan anak. Terjadinya incest merupakan ancaman tersendiri bagi setiap anak perempuan apabila rumahnya tidak menyediakan kamar tersendiri. Oleh karenanya untuk mencegah anak perempuan mengalami tindak kekerasan seksual (sexsual abuse) membutuhkan penyediaan rumah yang memberikan privasi bagi mereka.

Berdasarkan hal di atas, maka kebijakan di bidang perumahan dan pemukiman sudah seharusnya mengakomodasi kebutuhan khusus anak-anak mengingat secara demografis jumlah anak di bawah usia 18 tahun pada tahun 2006 sebesar 78,96 juta (35,5 persen) dari total seluruh penduduk Indonesia. Sebanyak 40% atau 33,16 juta diantaranya tinggal di perkotaan dan 45,8 juta sisanya tinggal di perdesaan. Menurut data BPS dari jumlah tersebut yang masuk kategori terlantar dan hampir terlantar mencapai 17,6 juta atau 22,14 persen, sedangkan menurut laporan Depsos pada tahun 2004, sebanyak 3.308.642 anak termasuk ke dalam kategori anak terlantar. Terkait dengan permasalahan anak terlantar, fenomena anak jalanan juga perlu mendapatkan perhatian yang serius dari pembuat kebijakan karena jumlah mereka disebutkan kini membengkak menjadi 200 ribu lebih dari 36.000-an pada tahun 1997. Jika anak-anak tersebut tidak mendapatkan akses untuk menikmati hak atas perumahan yang layak maka akan mengalami berbagai tindakan kekerasan dan menderita penyakit yang mengancam kesehatan dan kehidupan mereka.


B. Hak Anak atas Permukiman yang Layak Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Saat ini, hak anak telah mendapatkan jaminan perlindungan di bawah rezim hukum hak asasi manusia (HAM) internasional. Anak telah menjadi subyek hak (rights holders) setara dengan kelompok manusia yang lain. Artinya anak juga mempunyai hak atas rumah yang layak agar hidup sebagai manusia yang bermartabat. Perlindungan hak anak untuk menikmati permukiman yang layak di awali dengan ditetapkannya Deklarasi Hak Anak (Declaration on the Rights of the Child) pada 1959. Prinsip 4 dari deklarasi ini menyatakan bahwa:

Setiap anak mempunyai hak untuk mendapatkan nutrisi yang cukup, perumahan, rekreasi, dan pelayanan medis.

Selanjutnya Prinsip 2 juga mengatur hal senada bahwa:

Anak harus menikmati perlindungan khusus, dan harus diberikan fasilitas yang dijamin oleh hukum dan cara yang lain guna mengembankan fisik, mental, moral, spiritual, dan sosial dalam kondisi yang bebas dan bermartabat. Dalam memberlakukan suatu peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan tujuan ini maka kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan yang penting.

Prinsip "kepentingan terbaik anak" merupakan salah satu prinsip yang penting bagi para pembuat kebijakan untuk merespon isu anak-anak termasuk hak anak atas perumahan dan pemukiman yang layak. Dengan kata lain, Negara, khususnya pengambil kebijakan, harus menerapkan prinsip ini dalam semua hal yang berkaitan dengan kebijakan perumahan. Prinsip Ini telah menjadi pusat pengembangan hak anak di bawah hukum internasional dengan ditetapkan Konvensi Hak Anak. (KHA). Pasal 3 KHA yang menyatakan bahwa:

Dalam semua tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial negara atau swasta, pengadilan hukum, penguasa administratif atau badan legislatif, kepentingan-kepentingan terbaik anak harus merupakan pertimbangan utama.

Implementasi prinsip kepentingan terbaik bagi anak menurut Komentar Umum Komite Hak Anak No. 6 tentang Perlakuan terhadap anak-anak tanpa pendamping dan terpisah di luar negara asal mereka (Treatment of unaccompanied and separated children outside their country of origin) harus memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak baik yang meliputi:

a. kepentingan terbaik harus menjadi faktor penentu bagi tindakan spesifik;
b. kepentingan terbaik harus menjadi pertimbangan utama (tetapi bukan satu-satunya) bagi semua tindakan lainnya yang mempengaruhi anak-anak, apakah dilakukan oleh pemerintah atau swasta lembaga kesejahteraan sosial, pengadilan, penguasa administratif atau badan legislatif.

Kemudian menurut United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) prinsip implementasi prinsip kepentingan terbaik bagi anak harus memperhatikan dampaknya baik anak sebagai individu maupun anak sebagai kelompok (kolektif). Makna yang terkandung dalam konsep rumusan kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan yang utama, pertama konsep ini berimplikasi pada aturan prosedur, yakni setiap kali keputusan akan diambil yang akan mempengaruhi anak sebagai individu atau sekelompok anak tertentu, proses pengambilan keputusan harus hati-hati dengan mempertimbangkan dampak yang mungkin terjadi (positif dan negatif) terhadap anak-anak yang bersangkutan.

Kedua, prinsip kepentingan terbaik juga merupakan salah satu fondasi untuk hak substantif, yakni jaminan bahwa prinsip ini akan diterapkan apabila keputusan harus diambil terkait dengan kepentingan seorang anak atau sekelompok anak-anak. Negara berkewajiban untuk memberikan akses dan mekanisme sehingga pertimbangan kepentingan terbaik anak akan terfasilitasi. Kemudian Negara juga harus menyediakan langkah-langkah legislatif untuk memastikan bahwa mereka yang memiliki otoritas untuk membuat keputusan mengenai permasalahan anak-anak harus mempertimbangkan kepentingan terbaik.

Hak anak atas permukiman yang layak dalam KHA diatur dalam Pasal 27 yang menyatakan bahwa:

1. Negara mengakui hak setiap anak atas suatu standar kehidupan yang memadai bagi perkembanga fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak.
3. Negara sesuai dengan keadaan-keadaan nasional dan di dalam sarana-sarana mereka, harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk membantu orang tua dan orang-orang lain yang bertanggung jawab atas anak itu untuk melaksanakan hak ini, dan akan memberikan bantuan material dan mendukung program-program, terutama mengenai gizi, pakaian dan perumahan.

Dalam konteks ini Komite Hak Anak, telah mengakui bahwa:

Komite memandang penting untuk menekankan karakter universal dari hak atas perumahan yang berlaku untuk setiap anak, tanpa pembatasan atau perbedaan apapun.

Terkait dengan prinsip non diskriminasi di samping menjadi salah satu prinsip KHA (Pasal2), larangan memperlakukan setiap manusia secara diskriminatif juga menjadi semangat utama dari International Bill of Rights, yakni DUHAM yang tercantum pada Pasal 1, Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik yang tercantum pada Pasal 2, dan Kovenan Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Budaya yang tercantum pada Pasal 2. Berdasarkan prinsip non diskriminasi seharusnya anak tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif dalam menikmati haknya atas perumahan yang layak.

Jaminan penikmatan hak atas perumahan yang layak bagi setiap anak kembali dikukuhkan dalam Sesi Khusus Majelis Umum PBB dengan menetapkan Resolusi S 27/2 yang menyerukan seluruh anggota masyarakat untuk bergabung dalam gerakan global untuk membangun dunia yang layak bagi anak (to help to build a world fit for children). Perlindungan hak anak atas perumahan merupakan elemen esensial dari visi untuk memastikan anak dapat menikmati seluruh hak-haknya sehingga kesejahteraan, keamanan, dan kehormatan anak dapat terwujud. Tentu saja penyelesaian permasalahan krisis perumahan yang layak yang dialami oleh anak-anak merupakan upaya mewujudkan dunia yang layak bagi anak.

Pengakuan hak atas perumahan yang layak telah mendapatkan pengakuan yang jelas dan diatur dalam instrumen HAM internasional utama lainnya termasuk DUHAM (Pasal 25 ayat (1)), Kovenan Ekososbud (Pasal 11 ayat (1)), Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial (Pasal 5 (e) (iii)), dan Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan (Pasal 14 ayat (2)).

Hak atas perumahan yang layak merupakan kebutuhan yang bersifat mendasar sama mendasarnya dengan kebutuhan manusia terhadap pangan dan sandang. Pangan, sandang, dan papan merupakan tiga serangkai HAM (triumvirate) yang menjadi elemen kritis bagi setiap manusia karena martabat manusia dapat tercapai apabila ketiga hak ini dapat dinikmati secara penuh. Keluarga yang hidup dengan rumah yang di bawah standar layak huni berpotensi menghambat anak menikmati hak atas pendidikan, mengurangi kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang layak, dan dapat mencerabut penghuninya dari layanan publik yang bersifat mendasar.
Lebih jauh hak atas rumah yang layak juga dimaknai sebagai :

1. Orang seharusnya tidak menerima perlakuan yang diskriminatif;
2. Pemerintah harus mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk menyediakan kebutuhan rumah;
3. Orang seharusnya tidak digusur tanpa dilakukan konsultasi secara layak;
4. Penggusuran seharusnya tidak dilakukan karena mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah orang yang tidak memiliki rumah (tuna wisma).

Di samping sebagai prasyarat untuk mencapai standar kehidupan yang memadai, hak atas perumahan yang layak, juga harus ditafsirkan merupakan bagian dari upaya mewujudkan hak atas lingkungan yang sehat sebagai ruang hidup dan ruang sosial tempat di mana rumah tersebut berada. Pasal 24 KHA menegaskan bahwa :

Negara mengakui hak anak atas penikmatan standar kesehatan yang paling tinggi dengan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk:
a. Mengurangi kematian bayi dan anak
c. Memerangi penyakit dan kekurangan gizi melalui perawatan kesehatan primer antara lain dengan penerapan teknologi yang mudah tersedia, penyediaan pangan bergizi yang memadai dan air minum bersih, dan mempertimbangkan bahaya-bahaya dan risiko-risiko pencemaran lingkungan;

Ketentuan pasal di atas relevan dengan situasi anak-anak yang hidup dengan kondisi rumah yang tidak layak sebagai contoh anak yang berada pada perumahan yang kumuh akan kesulitan untuk mengakses air minum yang sehat dan mengalami dampak dari terjadinya degradasi lingkungan.

Menurut hasil studi, terdapat keterkaitan antara kondisi rumah yang tidak layak dengan derajat tekanan mental (stress) dan gangguan kesehatan. Terkait dengan hal ini, seorang arsitek feminis, Dolores Heyden menyatakan pentingnya rumah secara emosional terhadap penghuninya. Rumah tidak hanya berfungsi secara fisik namun juga berfungsi sebagai tempat memelihara. Rumah yang tidak layak berpengaruh terhadap berfungsinya sebuah keluarga karena menurunkan kualitas kesehatan mental penghuninya. Dalam konteks yang sama, Pelapor Khusus, Miloon Khotari dalam Laporannya menyatakan bahwa kemiskinan berkelanjutan pada akhirnya akan menempatkan perempuan untuk hidup di dalam rumah dan dalam kondisi kehidupan yang tidak layak dan tidak aman, memperbesar risiko perempuan mengalami bentuk-bentuk kekerasan berbasis jender. Tanpa perumahan yang layak, perempuan menjadi lebih rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan. Dengan kata lain, kekerasan terhadap perempuan juga bermuara pada pelanggaran hak perempuan atas perumahan yang layak. Faktor seperti kepadatan, buruknya situasi pemukiman dan tak tersedianya layanan publik (air, listrik, sanitasi) mempertinggi kerentanan perempuan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Situasi kekerasan berbasis jender yang diakibatkan karena perempuan tidak dapat menikmati perumahan yang layak tentu akan berdampak lebih terhadap anak-anak perempuan. Artinya tingkat kerentanan mengalami kekerasan akan semakin tinggi bagi anak pere mpuan apabila mereka menghuni perumahan yang tidak layak.

Kemudian melalui Sub Komisi PBB on the preventiom of discrimination and protection of minorities yang sekarang menjadi Sub Commission on the promotion and protection of human right mengajukan rancangan suatu prinsip deklarasi HAM dan lingkungan hidup. Dalam rancangan tersebut ditegaskan bahwa semua manusia mempunyai hak untuk merasa aman dan sehat secara ekologis. Tanpa sebuah lingkungan hidup yang layak dan bersih, hak-hak kemanusian lainnya menjadi tidak dapat tercapai atau tidak ada artinya. Demikian pula dalam Strategi Pemukiman Global PBB (Global Strategy for Settlement), tahun 2000 perumahan yang layak diartikan juga mencakup : privasi yang memadai, ventilasi dan penerangan yang layak, keamanan memadai, ruangan yang layak, infrastruktur dasar yang layak, dan fasilitas-fasilitas dasar. MDG’s juga telah menetapkan kewajiban mengenai hak atas perumahan bagi penduduk miskin melalui peningkatan kehidupan setidaknya 100 juta penghuni kawasan kumuh pada tahun 2015. Realisasi tujuan MDG’s ini tentu saja dapat mewujudkan perlindungan terhadap anak-anak yang hidup dan mendiami perumahan yang tidak layak. Pemenuhan hak atas perumahan yang layak menurut tujuan MDGs juga dikaitkan dengan pemenuhan atas air minum layak, sanitasi, dan lingkungan yang memadai.

Terkait dengan hal ini, Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya itu telah mencatat bahwa:

Hak atas perumahan tidak boleh ditafsirkan dalam arti sempit hanya sebagai tempat berteduh, melainkan harus dilihat sebagai hak untuk hidup dalam situasi yang aman, damai dan bermartabat.

Lebih jauh, Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah mengidentifikasi 7 unsur-unsur kunci agar hak atas perumahan dapat dikatakan layak. Dari perspektif hak anak,
setiap unsur hak atas perumahan sangat penting untuk menjamin setiap anak dapat menikmatinya. Ketujuh unsur tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Jaminan kepastian hukum atas kepemilikan tanah (legal security of tenure), melindungi anak-anak dari trauma terhadap penggusuran paksa.
2. Ketersediaan (availability) atas pelayanan, material, fasilitas dan infrastruktur akan memastikan bahwa anak-anak memiliki akses terhadap air minum yang aman dan fasilitas sanitasi dapat meningkatkan peluang bagi bayi dan anak usia dini untuk bertahan hidup.
3. Keterjangkauan (affordability), memastikan bahwa anak-anak memiliki akses terhadap rumah yang memadai terlepas anak tersebut hidup dalam kondisi miskin. Negara harus memberikan perlindungan untuk mencegah komodifikasi perumahan karena akan berdampak pada tereduksinya penikmatan hak atas pendidikan, kesehatan, dan pangan anak-anak akibat pendapatan keluarga dialokasi untuk biaya perumahan tinggi.
4. Habitabilitas (habitability) melindungi fisik, psikologis, dan kesehatan anak-anak dari ancaman lingkungan terkait dengan lingkungan yang padat dan/ atauu berada pada lingkungan permukiman yang kumuh .
5. Aksesibilitas (accessibility) memastikan bahwa semua anak-anak khususnya kelompok yang membutuhkan perlindungan khusus dapat tertampung secara memadai.
6. Sebuah lokasi yang layak (adequate location) untuk memastikan bahwa anak-anak cukup dekat dengan fasilitas sosial yang memungkinkan mereka dapat mengakses hak atas kesehatan dan pendidikan. Selain itu juga dapat melindungi anak-anak dari polusi sehingga terhindar dari risiko terhambatnya pengembangan dan kelangsungan hidup mereka.
7. Kecukupan secara budaya (cultural adequacy) memungkinkan anak-anak untuk melalui rumah yang ditempati dapat mengekspresikan identitas budaya mereka.

Ketujuh unsur di atas harus terpenuhi agar anak-anak dapat menikmati hak atas perumahan yang layak karena ketika hak perumahan mereka dilanggar, anak-anak berpotensi terjebak dalam spiral ketidakamanan dan kerentanan. Hal ini dapat terjadi karena pelanggaran atas hak yang satu akan berdampak pada pelanggaran hak yang lain.

Anak dalam perspektif HAM dikategorikan sebagai kelompok rentan (vulnerable groups) karena statusnya sebagai anak mereka seringkali mengalami perlakuan diskriminasi sehingga memerlukan perhatian dan perlindungan khusus untuk menghindari potensi tereksploitasi. Menurut Human Rights Reference disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:

a. Pengungsi (Refugees);
b. Pengungsi dalam negeri (Internally Displaced Persons/IDPs);
c. Kelompok minoritas (National Minorities);
d. Pekerja Migran (Migrant Workers);
e. Masyarakat adat (Indigenous Peoples);
f. Anak (Children); dan
g. Perempuan (Women).

Anak karena kondisinya yang lebih rentan dibanding kelompok lain diposisikan secara khusus dalam kerangka HAM. Anak-anak rentan terhadap penyalahgunaan dan penelantaran karena mereka belum memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap perlakuan buruk yang dialami mereka. Pembukaan KHA secara jelas menegaskan bahwa karena alasan ketidakdewasaan fisik dan jiwanya, anak-anak membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus, termasuk perlindungan hukum yang tepat. Bahkan dalam kelompok anak terdapat kelompok yang perlu mendapatkan perlindungan khusus karena terdapat situasi yang menyebabkan mereka terhalang menikmati hak-haknya. Kelompok ini disebut dengan Anak dalam situasi khusus (childern in need of special protection). Mengacu pada Komite Hak Anak PBB terdapat setidak-tidaknya 4 (empat) kelompok anak yang termasuk kategori ini :

a. Anak-anak dalam situasi darurat (children in situation of emergency), yakni pengungsi anak (children refugee) baik pengungsi lintas negara maupun pengungsi dalam negeri (internally displaced people) dan anak yang berada dalam situasi konflik bersenjata (children in situation of armed conflict)
b. Anak dalam situasi eksploitasi, meliputi eksplotasi ekonomi , penyalahgunaan obat (drug abuse) , eksplotasi seksual , perdagangan anak (trafficking ), dan ekploitasi bentuk lainnya
c. Anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the Law)
d. Anak yang berasal dari masyarakat adat dan kelompok minoritas (children from indigenous people and minorities)

Anak-anak yang termasuk dalam kelompok ini tentu harus mendapatkan perhatian lebih agar mereka dapat menikmati hak atas perumahan yang layak. Dengan demikian, konsep perumahan harus diperluas agar dapat mengakomodasi kebutuhan khusus anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Dalam konteks penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak anak atas perumahan yang layak harus melihat kebutuhan spesifik anak-anak. Perumahan yang layak di mana anak-anak bertempat tinggal akan memiliki dampak terhadap pemenuhan kesehatan, kemajuan pendidikan dan kesejahteraan anak-anak secara individu maupun secara keseluruhan sebagai kelompok.
Secara khusus merujuk pada Federation of National Organisations Working with the Homeless (FEANTSA), kelompok rentan yang memiliki permasalahan terkait dengan pemenuhan hak atas perumahan adalah :

a. Orang tanpa perumahan yang layak atau tanpa rumah;
b. Orang yang perumahannya terancam karena ketidakadaan kepastian hukum dan tanpa keamanan termasuk:
 Penyewa tanpa perlindungan hukum (tidak ada kontrak sewa atau tanpa perlindungan hukum);
 Penyewa dengan posisi perumahan yang secara hukum tidak pasti (mereka mempunyai kontrak dan/atau memiliki perlindungan hukum tertentu namun undang-undang dan/atau praktik pengadilan tidak memadai secara hukum untuk menjamin kepastian hukum atas kontrak tersebut).
c. Orang yang terancam posisi perumahan mereka karena status ekonomi yang disandangnya;
 Pemilik miskin, baik secara individu maupun kelompok, memiliki rumah namun tidak memiliki kemampuan untuk membiayai kebutuhan operasional rumah miliknya;
 Penyewa yang tidak mampu membayar dan membiayai kebutuhan operasional rumah sewanya.
d. Orang yang tidak dapat menjangkau akses kepemilikan rumah.

Berdasarkan kelompok rentan yang memiliki permasalahan pemenuhan hak atas permukiman di atas, hambatan yang menutup akses mereka memiliki rumah yang layak terkait dengan:

a. Sistem ekonomi ;
b. Rezim Kesejahteraan (isu jaminan pengaman sosial);
c. Rezim perumahan (kerangka hukum dan kelembagaan);
d. Faktor sosial (diskriminasi, dll).

Bertalian dengan masalah ini, Laporan dari Pelapor Khusus Miloon Kothari mengenai mengenai perumahan yang layak khususnya bagi perempuan dapat dijadikan rujukan mengenai perluasan konsep perumahan. Dalam Laporannya Miloon Kothari mengungkap seharusnya konsep perumahan menjangkau lebih dari sekedar konsep kepemilikan rumah pribadi juga mencakup berbagai bentuk tempat tinggal yang dapat dipakai oleh perempuan baik sementara maupun permanen, seperti rumah singgah, penjara, kamp pengungsian, dan asrama pabrik. Pada kesemua jenis tempat tinggal ini, unsur-unsur perumahan yang layak harus terpenuhi, termasuk jaminan bebas dari pelecehan dan kekerasan. Selanjutnya dikatakan bahwa rumah ini harus dilihat sebagai tempat kehidupan anak di mana anak-anak memperoleh makanan, tertawa, bermain, dan menemukan cinta dan kedamaian.

Dalam kasus pelanggaran hak anak atas perumahan yang layak maka akan berdampak pada pemenuhan hak anak khususnya hak-hak sebagai berikut:

1. Hak untuk hidup;
2. Hak menikmati standar kesehatan yang tertinggi;
3. Hak untuk bebas dari eksploitasi;
4. Hak atas pendidikan;
5. Hak untuk bebas dari penyiksaan dan hukum lain yang kejam, perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan martabat.

Perlindungan dan pemenuhan hak atas rumah yang layak bagi anak juga harus dikaitkan dengan permukiman sebagai lingkungan sosial bagi anak yang lebih luas. Dalam hal ini anak menjadi bagian dari komunitas setempat baik di perkotaan maupun di perdesaan. Khusus di lingkungan perkotaan perlindungan dan pemenuhan hak anak atas perumahan yang layak harus memperhatikan indikator kota yang ramah anak (child friendly cities). Indikator-indikator dari kota yang ramah anak antara lain sebagai berikut:

a. Anak dapat terlibat untuk mempengaruhi kebijakan yang terkait dengan kota
b. Anak dapat mengekspresikan pendapat mereka tentang kota yang diinginkan oleh anak sebagai warga kota
c. Anak dapat berpartisipasi di lingkungan keluarga, komunitas, dan kehidupan sosial yang melingkupi kehidupan anak di kota
d. Anak menerima layanan air bersih dan memilik akses atas sanitasi yang layak
e. Anak dapat terlindungi dari eksploitasi, kekerasan, dan penelantaran
f. Anak memiliki sarana sebagai tempat untuk berjumpa dengan teman-temannya dan tempat untuk bermain
g. Anak dapat mengakses ruang hijau, tanaman (flora) dan binatang (fauna) yang menjadi satu kesatuan ekosistem kota
h. Anak dapat terlindungi dari lingkungan yang tercemar polusi
i. Anak dapat berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan budaya
j. Anak berhak atas akses yang adil terhadap setiap layanan sebagai warga kota tanpa diskriminasi atas dasar, etnis, asal usul, agama, pendapatan, gender, atau disabilitas (Unicef Innocenti , 2004).
Untuk mewujudkan kota yang ramah anak tidak bisa dipisahkan dengan konsep kota yang berbasis HAM (human rights cities). Kota berbasis HAM pada dasarnya dibangun berdasarkan partisipasi warga kota secara setara dalam proses pembuatan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan warga kota. Kota berbasis HAM juga mengedepankan inisatif berbasis komunitas, direncanakan oleh kelompok local yang menggabungkan partisipasi dan perubahan sosial dengan solidaritas internasional yang berdasarkan prinsip pendidikan HAM dan pembangunan berkelanjutan. Di samping itu, kota berbasis HAM juga menawarkan sebuah struktur untuk identifikasi, evaluasi, dan analisa terhadap apa yang dibutuhkan untuk mencegah kekerasan dan memajukan terwujudnya HAM (Stephen P. Marks & Kathleen Modrowski, 2008).
Pada tataran hukum nasional Indonesia, konstitusi telah menjamin hak atas perumahan. Demikian pula undang-undang yang secara hirarkis berfungsi sebagai peraturan yang mengelaborasi konstitusi telah mengatur hak ini. Hak anak untuk mengakses perumahan yang layak telah diatur dalam UUD 1945 pada Pasal 28H ayat (1) yang menyatakan bahwa:

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Pemenuhan hak atas perumahan yang layak bagi anak merupakan hak konstitusional anak untuk mendapatkan mendapatkan pemenuhan atas hak hidup dan tumbuh kembang dan perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28B ayat (2)). Hak konstitusional anak ini juga semakin dipertegas dalam Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Membaca pasal ini maka anak-anak miskin dan terlantar dipelihara oleh Negara dengan cara memberikan akses bagi mereka untuk mendapatkan perumahan yang layak, misal rumah penampungan, panti asuhan, dan layanan perlindungan yang lain.

Pemenuhan perumahan bagi anak sebagai bagian dari kelompok rentan dapat dilakukan melalui tindakan afirmatif sebagaimana telah ditetapkan sebagai hak konstitusionalitas setiap warga negara, termasuk anak-anak. Pasal 28H ayat (2) menegaskan bahwa:

Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai undang-undang yang dimandati untuk mengatur lebih jauh jaminan penikmatan HAM setiap warga Negara juga telah mengatur hal serupa. Pasal 27 ayat (1) mengatur bahwa:

Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia

Kemudian Pasal 40 menyatakan juga bahwa :

Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.

Peraturan perundang-undangan sektoral yang mengatur perumahan dan permukiman yakni UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman khususnya Pasal 5 ayat (2) mengatur jaminan yang sama bahwa:

Setiap warganegara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.
Senada dengan hal di atas UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa pembangunan rumah susun bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjami kepastian hukum dalam pemanfaatannya.
Namun demikian, dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, jaminan anak untuk mendapatkan hak atas perumahan yang layak tidak diatur dalam UU ini. Seharusnya UU No. 23 Tahun 2002, di samping untuk mengatur lebih lanjut ketentuan Pasal 28B ayat (2); Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2) ; dan Pasal 34 ayat (1), UU ini juga seharusnya mengadopsi prinsip-prinsip dan norma-norma KHA dan instrument Hukum HAM Internasional lainnya khususnya dalam menjamin pemenuhan hak anak atas permukiman.
C. Catatan Kritis RUU Perumahan dari Perspektif Hak Anak
1. RUU Perumahan dan Permukiman belum mengakomodasi prinsip-prinsip dan norma-norma KHA dan sejumlah instrument hukum HAM internasional lainnya terkait dengan pemenuhan hak anak atas perumahan yang layak.
2. RUU Perumahan belum mengatur secara khusus hak-hak kelompok rentan terhadap hak atas perumahan dan permukiman yang layak sesuai dengan kebutuhan mereka yang bersifat khas dan khusus. Kebutuhan khas dan khusus tersebut harus melihat baik pada karakteristik yang melekat pada setiap kelompok rentan. Dalam konteks perlindungan anak, karakteristik anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus (children in need special protection) juga belum diatur untuk menjamin penikmatan penuh hak anak atas perumahan yang layak.
3. Kondisi Kelompok rentan, termasuk kelompok anak yang tidak memiliki apabila tidak diintervensi oleh Negara maka setiap kelompok rentan tersebut akan mengalami tingkat kesulitan yang lebih besar dalam menikmati hak-haknya. Untuk itu negara perlu menetapkan pendekatan khusus untuk menjamin bahwa mereka dapat menikmati sebesar mungkin HAM mereka, termasuk hak atas perumahan yang layak.RUU Perumahan dan Permukiman belum melihat bahwa hak-hak khusus yang secara spesifik harus mendapat perlakuan khusus untuk menjamin hak-hak terpenuhi agar mereka dapat hidup secara bermartabat. Perlakuan khusus tersebut dapat diberikan melalui tindakan khusus sementara atau diskriminasi positif sehingga mereka dapat memiliki posisi dan kesempatan setara dengan kelompok sehingga terdapat upaya percepatan peningkatan akses mereka atas perumahan yang layak. Kendatipun sudah menjadi hak konstitusional setiap warga Negara untuk mendapatkan perlakuan khusus, RUU ini luput mengakomodasi hak konstitusional warga Negara yang termasuk kelompok yang rentan.
4. Kewajiban negara untuk membantu orang tua dan orang lain yang bertanggung jawab apabila mereka mendapatkan kesulitan untuk mengemban kewajiban memenuhi hak anak atas perumahan yang layak tidak juga belum diatur dalam RUU Perumahan dan Permukiman. Padahal KHA memandatkan bahwa Negara berkewajiban untuk mengambilalih tanggung jawab orang tua apabila orang tua anak tidak dapat menjalani tanggung jawabnya sebagai orang tua. Artinya apabila orang tua si anak tidak dapat menyediakan perumahan yang layak bagi anaknya karena keterbatasan ekonomi maka Negara wajib menggantikan peran orang tua.
5. RUU Perumahan dan Permukiman mereduksi kewajiban Negara untuk menyediakan perumahan yang layak dan menyerahkannya kepada sektor swasta. Dengan kata lain, kemampuan finansial menjadi prasyarat seseorang dapat menikmati hak atas perumahan yang layak.
6. RUU Perumahan dan Permukiman belum mengatur akses dan mekanisma bagi anak-anak berpartisipasi dalam pembangunan perumahan dan permukiman, padahal kualitas kehidupan seorang anak ditentukan oleh kondisi perumahan dan permukiman di mana anak menjalani hidup dan kehidupannya. Lebih jauh, RUU Perumahan dan Permukiman juga tidak memaknai konsep perumahan dan pemukiman menjadi bagian integral dari penataan kota sehingga konsep kota yang ramah terhadap anak dan responsif terhadap anak-anak, termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus belum terakomodasi dalam RUU ini.
7. Pengaturan hak perempuan atas kepemilikan (right to property) terhadap sumber daya termasuk perumahan, tanah, dan kontrak belum diatur dalam RUU Perumahan dan Permukiman. Realita menunjukkan kelompok perempuan merupakan kelompok yang paling rentan terkait hak untuk mengklaim hak atas kepemilikan termasuk kepemilikan rumah. Lebih jauh kepemilikan tanah mencakup soal hubungan sosial yang akan menentukan siapa yang dapat mengakses tanah dan relasi kepemilikan yang terkait dengan struktur masyarakat, termasuk struktur keluarga, perkawinan dan sistem waris. Dampaknya dapat berakibat kepada kehidupan anak-anak apabila perempuan mengalami perceraian maka perempuan sangat sulit mendapatkan haknya termasuk kepemilikan atas rumah. Diskriminasi secara kultural dan struktural masih menjadi hambatan terbesar kelompok perempuan untuk dapat menikmati hak kepemilikan atas perumahan. Oleh karenanya RUU Perumahan dan Permukiman seharusnya dapat menghilangkan praktik budaya yang mendiskriminasi kelompok perempuan dalam mengakses kepemilikan tanah.
8. Hak atas perumahan yang layak menurut Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dimaknai secara luas termasuk hak untuk mendapatkan perlindungan dari pengusiran paksa (forced eviction) dan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas kepemilikan tanah (right to land tenure). Perlindungan dari pengusiran paksa dan keadilan akses kepemilikan bagi pemilikan tanah bagi kelompok miskin juga seharusnya juga diatur dalam RUU Perumahan dan Permukiman.


D. Rekomendasi

1. RUU Perumahan dan Permukiman harus memasukkan prinsip-prinsip Konvensi Hak Anak sebagai asas-asas yang melandasi operasionalisasi dan implementasi norma-norma yang diatur dalam RUU tersebut sehingga kepentingan dan kebutuhan anak yang spesifik dan khas dapat terpenuhi.
2. RUU Perumahan dan Permukiman harus mengatur kebutuhan khusus dari kelompok rentan dan anak dalam situasi khusus agar mereka tidak terhambat dalam menikmati hak untuk mendapatkan rumah yang layak.
3. RUU Perumahan dan Permukiman harus menjamin kepastian hukum atas kepemilikan kelompok miskin untuk mencegah mereka tergusur dan dipindahkan secara paksa.
4. RUU Perumahan dan Permukiman harus dimaknai secara luas bahwa hak atas perumahan yang layak terkait dengan pemenuhan atas hak yang lain seperti hak atas hidup, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas perlindungan, dan hak atas lingkungan yang sehat. Di samping itu konsep perumahan harus diperluas tidak hanya terbatas rumah pribadi tetapi rumah yang berdimensi public.
5. RUU Perumahan dan Permukiman harus memberikan perlindungan terhadap perempuan dari tindakan kekerasan.
6. RUU Perumahan dan Permukiman harus memperhatikan indicator-indikator kota yang ramah bagi anak;
7. RUU Perumahan dan Permukiman harus memperhatikan keadilan gender, keadilan ekologis, dan keadilan sosial.
8. Pengalokasian anggaran untuk memenuhi hak anak atas perumahan yang layak harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Prinsip-prinsip dan norma-norma dalam KHA menjadi acuan dalam mengalokasikan anggaran;
b. Kewajiban Negara untuk memprioritaskan alokasi anggaran,memanfaatkan batas maksimal anggaran yang tersedia, dan langkah-langkah yang telah diambil untuk memenuhi hak anak atas perumahan yang layak

Sumber : http://www.ypha.or.id/web/











Tidak ada komentar:

Posting Komentar